Powered By Blogger

Minggu, 28 Oktober 2007

Bekerja Di antara 2 Boss

Saat ini aku dipercaya untuk mengelola sebuah Perseroan (PT) yang sahamnya dimiliki oleh 2 orang (50:50). Yang satu orang lokal, dan yang satu seorang Foreigner (Expatriat). Dengan komposisi saham ini, tentu mereka berdua memiliki hak dan kekuatan yang sama. Masing - masing boss aku ini memiliki karakter yang berbeda. Bukan itu saja, mereka juga memiliki pandangan yang berbeda tentang bagaimana perseroan harus dijalankan. Yang satu maunya bisnis dijalankan dengan modal yang sekecil - kecilnya untuk dapat laba yang sebesar - besarnya (Local Investor), sementara yang satu inginnya langsung - langsung aja alias jangan tanggung - tanggung (Foreigner Investor).

Mereka berdua sebenarnya tidak ada yang salah. Secara prinsip ekonomi pandangan Local Investor saya benar bahwa sebuah usaha harus dirintis dari bawah sambil melihat kondisi di lapangan. Kalau pasar sudah jelas, terserah kalau mau jor-joran. Tapi pandangan Foreigner Investor aku juga benar. Menurutnya, di tengah tingginya tingkat persaingan saat ini untuk semua sektor bisnis, kita tidak bisa lagi bisa bermain ala grilya. Time is Money itu prinsipnya.

Semakin kecil modal yang ditanamkan, tentu semakin kecil ruang gerak perusahaan dan semakin kecil harapan untuk bisa bermain di kelas berat yang tentunya menjanjikan keuntungan yang kelas berat pula. Degan kecilnya ruang gerak perusahaan, tentu konsekuensi logisnya butuh waktu lama buat perusahaan untuk bisa menancapkan taringnya di antara para kompetitor.

Jika modal yang ditanamkan besar, maka ruang gerak perusahaan juga semakin luas. Dalam artian bahwa perusahaan dengan kekuatan finansialnya akan sanggup untuk menembus lebih banyak "promotional hole" alias celah - celah promosi. Dengan masuknya perusahaan ke berbagai celah promosi tersebut, maka semakin besar market share yang bisa dikuasai perusahaan. Contoh simplenya bisa dibuat begini :

"Kalau modal kita cuma 100 juta. Maka kalau budget promosinya cuma 20% dari modal. Yah tentu kemampuan promosi kita juga cuma koran lokal. Sementara kalau modal kita 500 juta dan budget promosinya 20%, tentunya kemampuan promosi kita juga bakalan menembus koran dengan distribusi nasional."

Nah... kalau sudah begini, apa yang harus dilakukan seorang pengelola seperti aku?

Sederhana saja sebenarnya. Aku cuma perlu melakukan yang namanya "Subsidi Silang" anggaran. Maksudnya begini : Walau anggaran promosi misalkan cuma 20%, sedapat mungkin hemat anggaran yang lain untuk tahap awal. Bila perlu, ambil keputusan -berani tarung- alias tanggung jawab atas konsekwensinya. Prioritaskan budget yang ada untuk mendongkrak anggarna promosi sebesar - besarnya. Kalau bisa cari "promotional hole" alternatif yang safety di sisi cost tapi efective disisi distribusi. Begitu "market opprotunity" terbuka, langsung di genjot walau untungnya cuma bisa menutupi budget lain yang terpakai itu. Setidaknya sekecil apapun laba yang mungkin diperoleh pada tahap ini, harus diambil!. Tujuan utamnya tentulah memperkuat branding dan customer relationship and satisfaction dulu.

Dengan cara ini pasar akan segera terbuka lebar bagi perusahaan, brand image dan market position kita sudah terbentuk. Selanjutnya tinggal melakukan metode "re-faund". Jadi semua dana anggaran lain yang sempat terpakai untuk mendongkrak anggaran promosi harus di re-faund (dikembalikan) ke posisinya masing - masing. Pada tahap ini, maka perusahaan sudah berada pasa kondisi "Ready to go". Bahan bakar (anggaran) sudah pada posisinya kembali, market orientation sudah terbentuk, dan market position juga sudah jauh di depan start. Selanjutnya perusahaan tinggal memanfaatkan budget promosi yang ada untuk membentuk Marketing Network melakukan fase lanjutan yaitu memperluas market share.

- ian medan -

Tidak ada komentar: